Recent Posts

Rabu, 20 Mei 2015

0 komentar

KASUS LC (LETTER OF CREDIT)

Kasus L/C Fiktif Bank Bni

Latar Belakang
Kasus pembobolan Bank BNI menjadi isu yang mengejutkan masyarakat Indonesia di akhir tahun 2003, dimana Bank BNI mengalami kerugian sebesar Rp 1,7 triliun yang diduga terjadi karena adanya transaksi ekspor fiktif melalui surat Letter of Credit (di ingkat L/C). Kasus ini menjadi fenomenal karena selain merugikan keuangan Bank BNI tetapi juga berimbas pada keuangan negara secara makro.

A.     Profil Singkat Bank BNI
Bank BNI didirikan pada tahun 1946. Perusahaan publik ini mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bank BNI merupakan bank terbesar nomor 3 di Indonesia setelah Bank Mandiri dan BCA dengan total aset pada tahun 2003 sebesar IDR. 131,49 triliun.

Visi  : Menjadi Bank kebanggaan nasional yang unggul dalam layanan dan kinerja.

Misi : Memaksimalkan stakeholder value dengan menyediakan solusi keuangan yang fokus pada segmen pasar korporasi, komersial dan konsumer.

Budaya Perusahaan
1.          BNI adalah bank umum berstatus perusahaan publik.
2.          BNI berorientasi kepada pasar dan pembangunan nasional.
3.          BNI secara terus menerus membina hubungan yang saling menguntungkan dengan nasabah dan mitra usaha.
4.          BNI mengakui peranan dan menghargai kepentingan pegawai.
5.          BNI mengupayakan terciptanya semangat kebersamaan agar pegawai melaksanakan tugas dan kewajiban secara profesional.

B.     Ringkasan Kasus
Awal terbongkarnya kasus menghebohkan ini tatkala BNI melakukan audit internal pada bulan Agustus 2003. Dari audit itu diketahui bahwa ada posisi euro yang gila-gilaa besarnya, senilai 52 juta euro. Pergerakan posisi euro dalam jumlah besar mencurigakan karena peredaran euro di Indonesia terbatas dan kinerja euro yang sedang baik pada saat itu. Dari audit akhirnya diketahui ada pembukaan L/C yang amat besar dan negara bakal rugi lebih satu triliun rupiah.

Penjelasan mengenai L/C fiktif BNI tersebut adalah sebagai berikut :
– Waktu kejadian : Juli 2002 s/d Agustus 2003
–  Opening Bank : Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd.
–  Total Nilai L/C : USD.166,79 juta & EUR 56,77 juta atau sekitar Rp. 1,7 trilyun
–   Beneficiary/Penerima L/C : 11 perusahaan dibawah Gramarindo Group dan 2 perusahaan dibawah Petindo Group
–  Barang Ekspor : Pasir Kuarsa dan Minyak Residu
–  Tujuan Ekspor : Congo dan Kenya
–   Skim : Usance L/C

Kronologi :
1.      1.Bank BNI Cabang Kebayoran Baru menerima 156 buah L/C dengan Issuing Bank : Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd. Oleh karena BNI belum mempunyai hubungan koresponden langsung dengan sebagian bank tersebut di atas, mereka memakai bank mediator yaitu American Express Bank dan Standard Chartered Bank.
2.      Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor berjangka (kredit ekspor) atas L/C-L/C tersebut di atas kepada BNI dan disetujui oleh pihak BNI. Gramarindo Group menerima Rp 1,6 trilyun dan Petindo Group menerima Rp 105 milyar.
3.      Setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo, Opening Bank tidak bisa membayar kepada BNI dan nasabahpun tidak bisa mengembalikan hasil ekspor yang sudah dicairkan sebelumnya.
4.      Setelah diusut pihak kepolisian, ternyata kegiatan ekspor tersebut tidak pernah terjadi.
5.      5.Gramarindo Group telah mengembalikan sebesar Rp 542 milyar, sisanya (Rp 1.2 trilyun) merupakan potensi kerugian BNI.
           
           Dalam menanggapi kasus ini manajemen Bank BNI mengatakan bahwa tidak ada ekspor fiktif dan belum ada kerugian, tetapi yang ada hanya potensi kerugian (potential losses).
Pertanyaannya adalah apakah mungkin kerugian sebesar itu terjadi tanpa ekspor fiktif ? Minimnya informasi mengenai sistem pembayaran perdagangan internasional melalui letter of credit (L/C) menimbulkan semakin banyaknya pertanyaan mengenai kasus pembobolan Bank BNI.

Solusi
           Sistem dan prosedur pengamanan transaksi L/C, khususnya di bank-bank BUMN, termasuk Bank BNI, cukup baik karena telah dibangun dan disempurnakan selama bertahun-tahun, antara lain berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit masa lampau. Akan tetapi, sistem pengamanan yang baik saja tidak cukup. Masih diperlukan sikap dari para petugasnya. Sekalipun sistem pengamanan sudah demikian baik, tetapi apabila para petugas bank sengaja melanggar sistem dan prosedur dengan tujuan yang tidak baik, bank akan kebobolan juga. Bank selalu dihadapkan pada pilihan dilematis antara pengamanan dan pelayanan kepada nasabah. Pengamanan yang terlalu ketat akan menghasilkan pelayanan yang mengecewakan nasabah. Sebaliknya, pelayanan yang dirasakan sangat memuaskan nasabah akan mengorbankan sistem pengamanan. Menghadapi dilema ini, bank harus bijak dan mampu membangun prosedur kerja yang tetap dapat menjamin keamanan, namun pelayanan bank memuaskan bagi nasabah. Dari penelitian, ternyata transaksi dalam kasus Bank BNI ini merupakan transaksi bermasalah dengan indikasi transaksi tersebut dilakukan tanpa mengikuti ketentuan intern Bank BNI. Transaksi L/C kedua grup usaha yang menjadi beneficiary telah dinegosiasikan oleh Bank BNI Kebayoran Baru dengan diskonto tanpa didahului adanya akseptasi dari bank penerbit. Di samping itu, dokumen-dokumen L/C mengandung penyimpangan dan negosiasi L/C dilakukan tanpa kelengkapan dokumen. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh kantor besar Bank BNI, para eksportir, yaitu perusahaan-perusahaan yang termasuk Gramarindo Group dan Petindo Group ternyata telah melakukan ekspor fiktif. Hal ini terungkap antara lain dari hasil verifikasi kepada Pejabat Bea Cukai cabang Belitung menyangkut Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) Gramarindo Group, Pejabat Bea Cukai cabang Belitung menyatakan bahwa PEB tersebut palsu. Sementara itu pula, penyelesaian pembayaran hasil transaksi ekspor (proceed) dari beberapa slip L/C tersebut yang telah dinegosiasikan dilakukan bukan oleh bank pembuka L/C (issuing bank), melainkan dilakukan oleh para eksportir sendiri dengan cara melakukan penyetoran atau melalui pendebetan rekening para eksportir tersebut. Sebagaimana diketahui, atas laporan kantor besar Bank BNI pada tanggal 30 September 2003, pihak kepolisian telah menahan pegawai Bank BNI Kebayoran Baru yang terlibat, yaitu Koesadiyuwono (mantan pemimpin cabang Bank BNI Kebayoran Baru) dan Edi Santoso (mantan Customer Service Manager Luar Negeri cabang Bank BNI Kebayoran Baru).

Sumber:
https://irsan90.wordpress.com/2012/03/26/letter-of-credit-dan-contoh-kasus/
( Label: ) Read more
0 komentar

SISTEM KLIRING


Kliring (dari bahasa Inggris clearing) sebagai suatu istilah dalam dunia perbankan dan keuangan menunjukkan suatu aktivitas yang berjalan sejak saat terjadinya kesepakatan untuk suatu transaksi hingga selesainya pelaksanaan kesepakatan tersebut. Kliring sangat dibutuhkan sebab kecepatan dalam dunia perdagangan jauh lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan guna melengkapi pelaksanaan aset transaksi. Kliring melibatkan manajemen dari paska perdagangan, pra penyelesaian eksposur kredit, guna memastikan bahwa transaksi dagang terselesaikan sesuai dengan aturan pasar, walaupun pembeli maupun penjual menjadi tidak mampu melaksanakan penyelesaian kesepakatannya. Proses kliring adalah termasuk pelaporan / pemantauan, marjin risiko, netting transaksi dagang menjadi posisi tunggal, penanganan perpajakan dan penanganan kegagalan.

Saat ini di Indonesia terdapat 105 penyelenggara kliring lokal, baik yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia maupun pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Transaksi yang dapat diproses melalui sistem kliring meliputi transfer debet dan transfer kredit yang disertai dengan pertukaran fisik warkat, baik warkat debet (cek, bilyet giro, nota debet dan lain-lain) maupun warkat kredit. Khusus untuk transfer kredit, nilai transaksi yang dapat diproses melalui kliring dibatasi di bawah Rp100.000.000,00 sedangkan untuk nilai transaksi Rp100.000.000,00 ke atas harus dilakukan melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BIRTGS).
Dalam melaksanakan kegiatan kliring tersebut, digunakan 4 (empat) jenis sistem yang berbeda yaitu:
1.      Sistem Kliring Elektronik atau dikenal dengan SKEJ, digunakan di Jakarta;
2.      Sistem Kliring Otomasi, digunakan di Surabaya, Medan dan Bandung;
3.      Sistem Semi Otomasi Kliring Lokal atau dikenal dengan SOKL, digunakan di 33 wilayah kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan 37 wilayah kliring lainnya yang diselenggarakan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia
4.      Sistem Manual (di 31 penyelenggara Non-BI).

Tujuan dan Manfaat
Tujuan diterapkannya SKNBI pada penyelenggaraan kliring di Indonesia adalah untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran ritel serta memenuhi prinsip-prinsip manajemen risiko dalam penyelenggaraan kliring.

Jenis Transaksi Kliring
Transaksi kliring yang dapat dilakukan meliputi:
1.      Transfer debet (menggunakan cek, bilyet giro atau warkat debet lainnya); dan
2.      Transfer kredit (mengisi formulir isian yang disediakan oleh bank) yang kemudian akan dikirim oleh bank melalui data keuangan elektronik yang disediakan dalam SKNBI.

Jenis-Jenis Kliring
Jenis-jenis kliring meliputi:
1.      Kliring umum, adalah : sarana perhitungan warkat-warkat antar bank yang pelaksanaannya diatur oleh B I.
2.      Kliring lokal, adalah : sarana perhitungan warkat-warkat antar bank yang berada dalam suatu wilayah kliring (wilayah yang ditentukan).
3.      Kliring antar cabang, adalah : sarana perhitungan warkat antar kantor cabang suatu bank peserta yang biasanya berada dalam satu wilayah kota. Kliring ini dilakukan dengan cara mengumpulkan seluruh perhitungan dari suatu kantor cabang untuk kantor cabang lainnya yang bersangkutan pada kantor induk yang bersangkutan.

Bank Peserta Kliring
               Bank yang termasuk peserta kliring adalah bank umum yang berada dalam wilayah kliring tertntu dan tidak dihentikan kepesertaannya dalam kliring oleh Bani Indonesia sebuah bank dapat ilarang untuk mengikuti kliring karna brbagai alasan. Pada dasarnya alasan tersebut berkenaan dengan pelanggaran – pelanggaran trhadap bank Indonesia atau ketidak mampuannya untuk menyelesaikannya kewajiban giral.
               Syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh suatu bank umum agar dapat menjadi peserta kliring yaitu:
a.       Suatu kantor Bank umum diwajibkan ikut serta dalam kliring setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia
b.      Mempunyai ijin usaha yang sah
c.       Keadaan administrasi dan keuangan memunginkan bank itu untuk memenuhi kewajibannya dalam kliring
d.      Simpanan masyarakat dalam bentuk giro dan klonggaran tarik kredit yang diberikan oleh kantor tersebut telah mencapai sekurang kurangnya 20% dari syarat modal setelah disetorkan minimum bvagi pendirian bank baru.
e.       Memyetorkan jaminan kliring sebesar 50% rata- rata kewajiban 20 hari terakhir dikurangi 40% rata-rata tagihan harian 20 hari terakhir. Kewajiban ini hanya berlaku bagi kantor bank yng baru direhabilitasi. Jaminan kiring ini berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penyetoran. Kewajiban menyetor jaminan kliring ini tidak berlaku bagi peserta tidak langsung atau pesrta pndahan wilayah kliring.

Bank peserta menunjukkan minimal orang wakil tetap pada lembaga kliring. Pembritahuan mengenai wakil tetarp ini disampaikan scara tertulis kepada bank Indonesia dengan ilampirkan contoh tanda tangtan dan paraf wakil-wakil tersebut.


Sumber:
https://brandhoz.wordpress.com/2013/06/03/sistem-kliring-pemindahan-dana-elektronik-di-indonesia/
http://mybeibby.blogspot.com/2012/10/bank-peserta-kliring.html
http://akhmadsubairiyanto.blogspot.com/2010/03/sistem-kliring-nasional-bank-indonesia.html

( Label: ) Read more

Kamis, 07 Mei 2015

0 komentar

Pengaruh Penyaluran Kredit Mikro terhadap Perkembangan Industri Kreatif di Indonesia

Perekonomian di Indonesia secara nasional telah menunjukkan bahwa kegiatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu bidang usaha yang konsisten dan berkembang (Marcellina, 2012). Selanjutnya (Marcellina, 2012) menyatakan UMKM juga merupakan usaha yang kuat menghadapi situasi ekonomi yang sulit, terlihat saat krisis ekonomi melanda Asia pada 1997 lalu. Pada saat usaha-usaha besar tidak bisa beroperasional karena meningkatnya biaya produksi sebagai dampak krisis ekonomi dan moneter, justru UMKM tetap berdiri serta mampu menciptakan laba dan mengisi kas penerimaan Negara.
Namun demikian perkembangan UMKM umumnya masih mengalami  berbagai masalah dan belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Masalah yang hingga kini masih menjadi kendala dalam pengembangan usaha UMKM antara lain adalah keterbatasan modal yang dimiliki dan sulitnya UMKM mengakses sumber permodalan. Modal yang diperlukan untuk mengembangkan usaha kecil menengah dan koperasi lebih banyak mengandalkan modal pribadi dan perputaran hasil usaha yang diperoleh.
            Menurut Desanto (2007) menambah modal bagi industri kecil bukan hal yang mudah. Bagi pengusaha kecil menengah meminjam uang di Bank selain harus menanggung bunga cukup tinggi juga melalui prosedur yang tidak mudah. Selain itu tidak adanya jaminan anggunan merupakan alasan utama bagi sebagian besar UMKM untuk tidak mengajukan permohonan kredit kepada perbankan, UMKM dengan segala keterbatasannya masih sulit untuk meraih modal dari sumber-sumber modal lembaga-lembaga keuangan non-bank seperti koperasi atau rentenir. Namun dari sisi yang lain ada beberapa lembaga keuangan yang menyalurkan kredit untuk usaha mikro seperti BPR, BRI Unit, Koperasi, Pegadaian, BMT, Kelompok Arisan, dan simpan-pinjam (Nuswantara, 2005). Sedangkan menurut Bank Indonesia dampak dari pemberian kredit untuk usaha berpengaruh positif terhadap perkembangan UMKM yang tercermin dari peningkatan pendapatan, omzet, dan keuntungan. Selain itu, pemberian kredit UMKM ini juga memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan individu yang bekerja di UMKM.

Permasalahan Usaha Mikro
Sebagaimana dimaklumi bahwa perkembangan usaha dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal perusahaan. Salah satu faktor internal yang cukup berperan besar dalam mempengaruhi perkembangan usaha termasuk UMKM adalah modal untuk investasi maupun modal kerja. Kesulitan memperoleh modal merupakan masalah klasik yang masih menghantui UMKM di Indonesia selama ini. Menurut Tulus (2002) dalam Afifah (2012), beberapa permasalahan yang sering dihadapi UMKM, khususnya industri kecil (IK) dan industri rumah tangga (IRT) antara lain:
  1. Kesulitan pemasaran Pemasaran sering dianggap sebagai salah satu kendala yang kritis bagi perkembangan UMKM. Salah satu aspek yang terkait dengan masalah pemasaran adalah tekanan-tekanan persaingan, baik pasar domestik dari produk serupa buatan usaha besar dan impor, maupun di pasar ekspor.
  2. Keterbatasan finansial UMKM khususnya di Indonesia menghadapi dua masalah utama dalam aspek finansial: mobilisasi modal awal ( start-up capital ) dan akses ke modal kerja dan finansial jangka panjang untuk investasi yang sangat diperlukan demi pertumbuhan output jangka panjang. Walaupun pada umumnya modal awal bersumber dari modal sendiri atau sumber-sumber informal, namun sumber-sumber permodalan ini sering tidak cukup untuk kegiatan produksi.
  3. Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) Keterbatasan SDM juga merupakan salah satu kendala serius bagi banyak usaha mikro dan kecil di Indonesia, terutama dalam aspek-aspek manajemen, teknik produksi, pengembangan produk, organisasi bisnis, akuntansi, teknik pemasaran, dan penelitian pasar.
  4. Masalah bahan baku Keterbatasan bahan baku dan input-input lainnya juga sering menjadi salah satu kendala serius bagi pertumbuhan output atau kelangsungan produksi bagi banyak usaha mikro dan kecil di Indonesia. Hal ini dikarenakan jumlah ketersediaan bahan baku yang terbatas serta harga bahan baku yang tinggi.
  5. Keterbatasan teknologi Keterbatasan teknologi khususnya usaha-usaha rumah tangga (mikro), disebabkan oleh banyak faktor di antaranya, keterbatasan modal investasi untuk membeli mesin-mesin baru atau untuk menyempurnakan proses produksi, keterbatasan informasi mengenai perkembangan teknologi atau mesin-mesin dan alat-alat produksi baru.

Kredit Mikro adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha mikro,  baik langsung maupun tidak langsung, yang dimiliki dan dijalankan oleh  penduduk miskin dengan kriteria penduduk miskin menurut Badan Pusat Statistik, dengan plafon kredit maksimal Rp 50 juta. Perkembangan industri kreatif di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup pesat. Itu telah menjadi pilihan utama untuk para wirausaha untuk memulai bisnis dan mengembangkan produk. Hal ini terbukti dengan meningkatnya devisa yang bersumber dari 14 sektor ekonomi dari industri kreatif.
Sebagai instansi keuangan yang mendukung prinsip bisnis berkelanjutan, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) memberi perhatian khusus terhadap perkembangan sektor industri kreatif. BNI meyakini industri kreatif akan memacu tumbuhna nilai-nilai ekonomi baru dan meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Aturan birokrasi yang kaku dinilai menghambat perkembangan industri kreatif. Bahkan, kepercayaan perbankan untuk memberikan pinjaman modal juga masih minim sehingga masalah permodalan menjadi batu sandungan para pelaku industri kreatif. dalam rangka untuk meningkatkan perkembangan industry kreatif maka diperlukan modal yang cukup besar mengingat mayoritas dari pelaku industry ini adalah usaha mikro, kecil dan menengah.

Dana ke Industri Kreatif Masih Kecil
Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah penyaluran kredit untuk industri kreatif tercatat per Agustus 2014 mencapai Rp 115,4 triliun atau hanya sebesar 17,4% dari total penyaluran kredit. Eni V. Panggabean, Kepala Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM BI, mengatakan   porsi   industri   kreatif   hanya   mencapai   9,76%.   Oleh   karena   itu   pihaknya menuturkan   bahwa diperlukan   peran   perbankan   untuk   mendorong   sektor   ini.   Untuk mendorong UMKM, pada tahun depan Bank Indonesia akan memberikan pelatihan pencatatan kepada para pelaku UMKM. Sulistyawati, Direktur Pengembangan Produk Ekspor Kementerian Perdagangan, memaparkan bahwa industri kreatif sudah ada sejak lama namun perhatian pemerintah ke sektor tersebut masih rendah. Industri kreatif di Indonesia memerlukan nilai tambah agar dapat menjual produknya tersebut. M. Iqbal Alamsyah, Direktur Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Media, mengatakan ekonomi kreatif berpotensi untuk membantu sektor perpajakan. Iqbal berharap pada pemerintahan kali ini akan dibentuk badan yang menangani dan mengelola kreatif. (Sumber: Bisnis Indonesia, 26 November 2014, 19)

http://perbanas.org/wp-content/uploads/2015/01/Banking-Weekly-Hotlist-24-November-28-November-2014.pdf
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=113669&val=5187
http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2011/03/mengembangkan-industri-kreatif-berbasis.html
http://bandungcreativecityblog.files.wordpress.com/2008/03/perkembangan_ind_kreatif.pdf
http://www.suarapembaruan.com/home/produk-kreatif-ukm-mampu-tingkatkan-devisa/18350
https://raranatasha.wordpress.com/2015/04/30/pengaruh-penyaluran-kredit-mikro-terhadap-perkembangan-industri-kreatif-di-indonesia/
( Label: ) Read more
Best viewed on firefox 5+
Maintained by Ingrid Catharina. Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Pageviews

Copyright © Design by Ingrid Catharina
Merci de votre Visite :)