Recent Posts

Minggu, 25 September 2016

0 komentar

Tugas Softskill 2 Ilmu Sosial Dasar (ISD)

KETERTINGGALAN DAERAH PEDALAMAN DAN PINGGIRAN KOTA

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010 – 2014 Pemerintah menetapkan setidaknya terdapat 183 jumlah kabupaten yang tergolong daerah tertinggal. Jumlah tersebut terdiri dari 149 kabupaten tertinggal, sebagai kabupaten yang masih berstatus tertinggal dari 199 daerah tertinggal pada tahun 2004- 2009 dan 34 kabupaten hasil pemekaran (Daerah Otonomi Baru). Dari jumlah tersebut sebanyak 128 kabupaten atau sekitar 62 % berada di wilayah kawasan timur Indonesia  (KTI).
Terlepas dari data tersebut, jika diuraikan secara mendetail, ketertinggalan suatu daerah lebih diakibatkan karena letaknya secara geografis relatif terpencil, sulit dijangkau dan jauh di pedalaman; (b) potensi sumber daya alam relatif kecil atau belum dikelola secara maksimal; (c) kuantitas sumber daya manusia relatif sedikit dengan kualitas yang relatif rendah; (d) kondisi infrastruktur sosial ekonomi kurang memadai; (e) kegiatan investasi dan produksi yang rendah; (f) dan beberapa daerah yang merupakan daerah perbatasan antar negara, rawan bencana alam dan rawan konflik, baik secara vertikal maupun horizontal.
Daerah pedalaman merupakan salah satu wujud dari ketertinggalan suatu daerah. Sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat daerah pedalaman dengan kondisi yang serba terbatas. Berkaitan dengan infrastruktur jalan/transportasi misalnya, untuk berpergian ke tempat kerja (kebun, sawah, ladang, pantai), ke sekolah, ke pasar, dan ke rumah kerabat, berjalan kaki merupakan alternatif utama, selain bersepeda maupun menggunakan motor. Belum lagi jika harus berurusan ke ibukota kabupaten atau daerah lainnya, melewati daerah pegunungan, perbukitan, sungai atau jalanan setapak yang tak beraspal sudah merupakan lintasan keseharian mereka. Sedangkan berkaitan dengan fasilitas listrik/ penerangan, jangankan untuk bisa menikmati tontonan sinetron atau film layar lebar di TV, kelap kelip lampu di malam hari saja merupakan hal yang asing bagi sebagian besar dari mereka.
Fasilitas layanan umum, seperti pendidikan dan kesehatan juga demikian, kalaupun tersedia sekolah dan puskesmas pembantu (pustu)/ pos kesehatan desa (poskesdes) di sekitar mereka, namun sudah menjadi pemandangan yang lazim dijumpai bahwa keberadaan fasilitas tersebut hanya “formalitas” belaka, jauh dari kelayakan. Begitupula ketersediaan tenaga guru dan pelayan kesehatan (dokter/bidan), selain jumlahnya tidak sebanding dengan beban tugas yang harus mereka emban, peningkatan kompetensi dan kesejahteraan mereka pun, kurang mendapatkan perhatian.
Kondisi ini diperparah lagi dengan kondisi infrastruktur ekonomi, seperti pasar, terminal, dermaga/tambatan kapal yang memprihatinkan serta aktivitas investasi, produksi dan pemasaran yang kadang tidak berpihak kepada masyarakat pedalaman. Pasar dan infrastruktur ekonomi lainnya terkadang dibangun hanya berorientasi “proyek”, sehingga masyarakat sekitar tidak mendapatkan nilai tambah (impact dan benefit) atas keberadaan fasilitas-fasilitas tersebut. Aktivitas ekonomi juga demikian, karena keterisolasian dan kurangnya akses terhadap informasi, masyarakat pedalaman selaku pelaku ekonomi utama (petani/nelayan) terkadang hanya menjadi “barang mainan” para tengkulak yang seenaknya mempermainkan harga dan menggunakan kelebihan modalnya untuk menindas mereka.
Akibat dari semakin berlarutnya kondisi ini maka wajarlah kemudian urbanisasi menjadi sesuatu “tradisi” yang sulit dihindari, karena sebenarnya sudah menjadi kodrat manusia untuk tidak pernah puas, apalagi jika terus-menerus berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Masyarakat pedalaman juga memiliki hak yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya, yaitu mendapatkan penghidupan yang layak dan sejahtera, sehingga beradu nasib dengan masyarakat perkotaan merupakan hal yang pantas untuk mereka lakukan. Para ahli sosiologi secara garis besar menyatakan bahwa setidaknya terdapat dua faktor penyebab terjadinya urbanisasi, yaitu:
1.      Faktor penarik (Pull factors), yaitu kondisi perkotaan atau daya tarik daerah perkotaan yang mengakibatkan masyarakat pedalaman (desa) termotivasi untuk ke kota, diantaranya berupa:
-          Fasilitas Pendidikan, sekolah dan perguruan tinggi lebih baik dan berkualitas.
-          Kehidupan kota yang lebih modern
-          Sarana dan prasarana kota lebih lengkap
-          Banyak lapangan pekerjaan di kota.
2.      Faktor pendorong (Push factors), yaitu kondisi daerah pedalaman (desa) yang membuat masyarakat memilih untuk ke kota, diantaranya berupa:
-          Lahan pertanian semakin sempit.
-          Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya.
-          Menganggur, karena tidak banyak lapangan pekerjaan yang tersedia.
-          Terbatasnya sarana dan prasarana.
-          Diusir dari tempat asalnya.
-          Memiliki impian kuat menjadi orang kaya.
Dari dua faktor penyebab terjadinya urbanisasi diatas, dapat disimpulkan bahwa motif utama masyarakat pedalaman melakukan urbanisasi adalah faktor ekonomi/kemiskinan, kemudian didorong oleh faktor pendidikan. Selain itu, faktor kurangnya akses informasi juga memberikan andil terbesar dari terjadinya urbanisasi, karena tidak sedikit dari para migran melakukan urbanisasi akibat ketidaktahuannya atas kondisi perkotaan sebenarnya, sehingga hanya mengandalkan informasi dari kerabat, yang mana informasi-informasi tersebut terkadang tidak semuanya andal dan relevan dengan kebutuhan mereka.
Secara umum, berdasarkan data perkembangan migran pada tahun 1980 dan 1995, pada tahun 2009 silam, Biro Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan bahwa dalam skala Indonesia secara keseluruhan, tingkat urbanisasi akan mencapai 68% pada tahun 2025. Sedangkan untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya diproyeksikan sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada tahun 2025 diproyeksikan di atas 80 persen, yaitu di Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Sementara khusus untuk DKI Jakarta, tingkat urbanisasinya diproyeksikan telah mencapai 100%. Proyeksi tersebut tidaklah mengherankan, karena untuk DKI Jakarta saja, berkaitan dengan migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, walaupun jumlahnya berfluktuasi tiap tahunnya, lonjakan arus urbanisasi rata-rata per tahun mencapai 200.000-250.000 jiwa.
Kondisi ini tentunya mengakibatkan populasi masyarakat yang hidup di perkotaan akan semakin meningkat dan sebaliknya persentasi masyarakat yang hidup di pedesaan/pedalaman akan semakin menurun. Hal ini tentunya perlu diantisipasi sedini mungkin agar tidak terus berlanjut, karena walaupun disatu sisi urbanisasi telah terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan sebagian masyarakat pedalaman, namun disisi lain, dalam kenyataannya sebagaimana peribahasa “Ingin Hati Memeluk Gunung, Tapi Apa Daya Tangan Tak Sampai” dan “Tak Ada Batang, Akarpun Jadi” menjadi sesuatu yang tak dapat dielakkan oleh sebagian besar para migran, sehingga yang terjadi adalah bukannya mendapatkan penghidupan layak, tetapi hanya menimbulkan masalah baru, yaitu terbentuknya daerah slum/slums, yang mayoritas dihuni oleh para migran yang tidak beruntung tersebut.
Daerah slum/slums itu sendiri secara garis besar merupakan daerah yang kumuh atau tidak beraturan yang terdapat di perkotaan, terutama di daerah pinggiran kota, dengan ciri-ciri antara lain : banyak dihuni oleh pengangguran, tingkat kejahatan/kriminalitas tinggi, demoralisasi tinggi, emosi warga tidak stabil, masyarakatnya mayoritas miskin dan berpenghasilan rendah, daya beli rendah, wilayahnya kotor, jorok, tidak sehat dan tidak beraturan, fasilitas publik sangat tidak memadai, kebanyakan bekerja sebagai pekerja kasar dan serabutan serta bangunan rumah kebanyakan gubuk dan rumah semi permanen, sehingga jika kondisinya demikian, hampir tidak ada perbedaan kondisi yang dialami oleh masyarakat pedalaman dan masyarakat pinggiran kota, yaitu pada umumnya mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan relatif rendah, yang mana berdampak pada kurangnya daya saing dan lambannya pertumbuhan ekonomi pada daerah-daerah tersebut.
Berdasarkan fenomena ini, menjadi suatu perkara yang sulit untuk membebebaskan daerah pedalaman dan pinggiran kota dari ketertinggalan. Karena selain realitasnya sudah demikian, mungkin juga dikarenakan beberapa pihak telah “sengaja” melakukan pembiaran atau “merekayasa” kondisi ini tetap seperti itu, berharap mengambil keuntungan pribadi atas ketertinggalan tersebut, atau mungkinkah ini merupakan bukti kegagalan pemerintah dan otonomi daerah di Indonesia selama ini?

Sumber:
https://andichairilfurqan.wordpress.com/tag/daerah-pedalaman/

( Label: ) Read more
0 komentar

Tugas Softskill 1 Ilmu Sosial Dasar (ISD)

Perkembangan Penduduk di Provinsi Sumatera Barat


Kependudukan
        Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah populasi Sumatera Barat mencapai 4.846.909 jiwa dimana 49,61%-nya adalah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki, dengan kepadatan penduduk sebanyak 114 jiwa/km2. Kabupaten/kota yang memiliki penduduk paling banyak adalah Kota Padang, yang mencapai 833.562 jiwa dan yang terendah di Kota Padang Panjang yaitu hanya 47.008 jiwa. Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki tingkat kepadatan tertinggi adalah Kota Bukittinggi, yakni 4.410 jiwa/km2, dan yang terendah adalah di Kep. Mentawai yaitu hanya 12,67 orang/ km2. Mayoritas masyarakat Sumatera Barat beretnis Minangkabau, yang keseluruhannya memeluk Islam.

Pendidikan
        Sumatera Barat pernah menjadi pusat pendidikan di pulau Sumatera, terutama pendidikan Islam dengan surau sebagai basis utamanya. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, selain pendidikan Islam berkembang pula pendidikan model Barat. Di tahun 1856, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan Sekolah Raja di Bukittinggi. Selain sekolah yang dikelola oleh pemerintah, banyak pula sekolah yang dikelola oleh swasta, seperti Sekolah Adabiah di Padang, INS Kayutanam, Sumatera Thawalib dan Diniyah Puteri di Padang Panjang. Sehingga pada saat itu, Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah Hindia-Belanda yang memiliki jumlah sekolah dan pelajar cukup besar.
        Setelah masa kemerdekaan, di Sumatera Barat juga banyak didirikan universitas dan sekolah tinggi. Bermula dari Universitas Andalas pada tahun 1955, selanjutnya juga berdiri IAIN Imam Bonjol, Uneversitas Negeri Padang dan IPDN Bukittinggi. Beberapa universitas swasta terkemuka di provinsi ini antara lain Universitas Bung Hatta dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Kini hampir disetiap kabupaten dan kota di Sumatera Barat telah memiliki perguruan tinggi, dengan jumlah terbesar berada di Padang.
        Pada tahun 2006, angka melek huruf latin di provinsi ini mencapai 96,35%. Angka partisipasi sekolah untuk usia 19-24 tahun, atau yang mengambil jenjang perguruan tinggi mencapai 27,8%. Angka ini berada di atas rata-rata nasional yang hanya sebesar 16,13%.

Suku Bangsa
        Mayoritas penduduk Sumatera Barat merupakan suku Minangkabau. Di daerah Pasaman selain etnis Minang, juga berdiam suku Batak dan suku Mandailiang. Kedatangan mereka ke Sumatera Barat terutama pada masa Perang Paderi. Di beberapa daerah transmigrasi, seperti di Sitiung, Lunang Silaut dan Padang Gelugur, terdapat pula suku Jawa. Sebagian diantaranya adalah keturunan imigran asal Suriname yang memilih kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1950-an. Oleh Presiden Soekarno saat itu, diputuskan untuk menempatkan mereka di sekitar daerah Sitiung. Hal ini juga tidak terlepas dari politik pemerintah pusat pasca PRRI.
        Di Kepulauan Mentawai yang mayoritas penduduknya beretnis Mentawai, jarang dijumpai masyarakat Minangkabau. Etnis Tionghoa hanya terdapat di kota-kota besar, seperti Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh. Di Padang dan Pariaman juga terdapat masyarakat Nias dan Tamil dalam jumlah kecil.

Bahasa
        Bahasa yang digunakan dalam keseharian ialah Bahasa Minangkabau yang memiliki beberapa dialek, seperti dialek Bukittinggi, dialek Pariaman, dialek Pesisir Selatan, dan dialek Payakumbuh. Di daerah Pasaman dan Pasaman Barat yang berbatasan dengan Sumatera Utara, juga dituturkan Bahasa Batak dialek Mandailing. Sementara itu di daerah kepulauan Mentawai banyak digunakan Bahasa Mentawai.

Agama
       Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 98% penduduk Sumatera Barat. Selain itu ada juga yang beragama Kristen terutama di kepulauan Mentawai sekitar 1,6%, Buddha sekitar 0,26%, dan Hindu sekitar 0,01%, yang dianut oleh masyarakat pendatang.
       Berbagai tempat ibadah, yang didominasi oleh masjid dan mushala, dapat dijumpai di setiap kabupaten dan kota di Sumatera Barat. Masjid terbesar adalah Masjid Raya Sumatera Barat di Padang, yang saat ini pembangunannya masih dalam tahap pengerjaan.
       Sedangkan masjid tertua diantaranya adalah Masjid Raya Ganting di Padang dan Masjid Tuo Kayu Jao di kabupaten Solok. Arsitektur khas Minangkabau mendominasi baik bentuk masjid maupun musala. Masjid Raya Sumatera Barat memiliki bangunan berbentuk gonjong, dihiasi ukiran Minang sekaligus kaligrafi. Ada juga masjid dengan atap yang terdiri dari beberapa tingkatan yang makin ke atas makin kecil dan sedikit cekung.

Tahun
2000
2004
2005
2006
2007
2009
2010
Jumlah penduduk
4.227.689
4.594.961
4.566.126
4.732.678
4.763.130
4.795.202
4.846.909
Sejarah kependudukan Sumatera Barat


Sumber Berita: www.swarakalibata.com

http://kerjasamarantau.sumbarprov.go.id/berita-kependudukan-provinsi-sumatera-barat.html#ixzz4LGchVpeO
( Label: ) Read more
Best viewed on firefox 5+
Maintained by Ingrid Catharina. Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Pageviews

Copyright © Design by Ingrid Catharina
Merci de votre Visite :)