Tugas Softskill 2 Ilmu Sosial Dasar (ISD)
KETERTINGGALAN DAERAH PEDALAMAN DAN
PINGGIRAN KOTA
Berdasarkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010 – 2014 Pemerintah menetapkan
setidaknya terdapat 183 jumlah kabupaten yang tergolong daerah tertinggal.
Jumlah tersebut terdiri dari 149 kabupaten tertinggal, sebagai kabupaten yang
masih berstatus tertinggal dari 199 daerah tertinggal pada tahun 2004- 2009 dan
34 kabupaten hasil pemekaran (Daerah Otonomi Baru). Dari jumlah tersebut
sebanyak 128 kabupaten atau sekitar 62 % berada di wilayah kawasan timur
Indonesia (KTI).
Terlepas
dari data tersebut, jika diuraikan secara mendetail, ketertinggalan suatu
daerah lebih diakibatkan karena letaknya secara geografis relatif terpencil,
sulit dijangkau dan jauh di pedalaman; (b) potensi sumber daya alam relatif
kecil atau belum dikelola secara maksimal; (c) kuantitas sumber daya manusia
relatif sedikit dengan kualitas yang relatif rendah; (d) kondisi infrastruktur
sosial ekonomi kurang memadai; (e) kegiatan investasi dan produksi yang rendah;
(f) dan beberapa daerah yang merupakan daerah perbatasan antar negara, rawan
bencana alam dan rawan konflik, baik secara vertikal maupun horizontal.
Daerah
pedalaman merupakan salah satu wujud dari ketertinggalan suatu daerah. Sudah
menjadi hal yang biasa bagi masyarakat daerah pedalaman dengan kondisi yang
serba terbatas. Berkaitan dengan infrastruktur jalan/transportasi misalnya,
untuk berpergian ke tempat kerja (kebun, sawah, ladang, pantai), ke sekolah, ke
pasar, dan ke rumah kerabat, berjalan kaki merupakan alternatif utama, selain
bersepeda maupun menggunakan motor. Belum lagi jika harus berurusan ke ibukota
kabupaten atau daerah lainnya, melewati daerah pegunungan, perbukitan, sungai
atau jalanan setapak yang tak beraspal sudah merupakan lintasan keseharian
mereka. Sedangkan berkaitan dengan fasilitas listrik/ penerangan, jangankan
untuk bisa menikmati tontonan sinetron atau film layar lebar di TV, kelap kelip
lampu di malam hari saja merupakan hal yang asing bagi sebagian besar dari
mereka.
Fasilitas
layanan umum, seperti pendidikan dan kesehatan juga demikian, kalaupun tersedia
sekolah dan puskesmas pembantu (pustu)/ pos kesehatan desa (poskesdes) di
sekitar mereka, namun sudah menjadi pemandangan yang lazim dijumpai bahwa
keberadaan fasilitas tersebut hanya “formalitas” belaka, jauh dari kelayakan.
Begitupula ketersediaan tenaga guru dan pelayan kesehatan (dokter/bidan),
selain jumlahnya tidak sebanding dengan beban tugas yang harus mereka emban,
peningkatan kompetensi dan kesejahteraan mereka pun, kurang mendapatkan
perhatian.
Kondisi
ini diperparah lagi dengan kondisi infrastruktur ekonomi, seperti pasar,
terminal, dermaga/tambatan kapal yang memprihatinkan serta aktivitas investasi,
produksi dan pemasaran yang kadang tidak berpihak kepada masyarakat pedalaman.
Pasar dan infrastruktur ekonomi lainnya terkadang dibangun hanya berorientasi
“proyek”, sehingga masyarakat sekitar tidak mendapatkan nilai tambah (impact
dan benefit) atas keberadaan fasilitas-fasilitas tersebut. Aktivitas ekonomi
juga demikian, karena keterisolasian dan kurangnya akses terhadap informasi,
masyarakat pedalaman selaku pelaku ekonomi utama (petani/nelayan) terkadang
hanya menjadi “barang mainan” para tengkulak yang seenaknya mempermainkan harga
dan menggunakan kelebihan modalnya untuk menindas mereka.
Akibat
dari semakin berlarutnya kondisi ini maka wajarlah kemudian urbanisasi menjadi
sesuatu “tradisi” yang sulit dihindari, karena sebenarnya sudah menjadi kodrat
manusia untuk tidak pernah puas, apalagi jika terus-menerus berada dalam posisi
yang tidak menguntungkan. Masyarakat pedalaman juga memiliki hak yang sama
dengan masyarakat Indonesia lainnya, yaitu mendapatkan penghidupan yang layak
dan sejahtera, sehingga beradu nasib dengan masyarakat perkotaan merupakan hal
yang pantas untuk mereka lakukan. Para ahli sosiologi secara garis besar
menyatakan bahwa setidaknya terdapat dua faktor penyebab terjadinya urbanisasi,
yaitu:
1.
Faktor
penarik (Pull factors), yaitu kondisi
perkotaan atau daya tarik daerah perkotaan yang mengakibatkan masyarakat
pedalaman (desa) termotivasi untuk ke kota, diantaranya berupa:
-
Fasilitas
Pendidikan, sekolah dan perguruan tinggi lebih baik dan berkualitas.
-
Kehidupan
kota yang lebih modern
-
Sarana
dan prasarana kota lebih lengkap
-
Banyak
lapangan pekerjaan di kota.
2.
Faktor
pendorong (Push factors), yaitu
kondisi daerah pedalaman (desa) yang membuat masyarakat memilih untuk ke kota,
diantaranya berupa:
-
Lahan
pertanian semakin sempit.
-
Merasa
tidak cocok dengan budaya tempat asalnya.
-
Menganggur,
karena tidak banyak lapangan pekerjaan yang tersedia.
-
Terbatasnya
sarana dan prasarana.
-
Diusir
dari tempat asalnya.
-
Memiliki
impian kuat menjadi orang kaya.
Dari
dua faktor penyebab terjadinya urbanisasi diatas, dapat disimpulkan bahwa motif
utama masyarakat pedalaman melakukan urbanisasi adalah faktor
ekonomi/kemiskinan, kemudian didorong oleh faktor pendidikan. Selain itu,
faktor kurangnya akses informasi juga memberikan andil terbesar dari terjadinya
urbanisasi, karena tidak sedikit dari para migran melakukan urbanisasi akibat
ketidaktahuannya atas kondisi perkotaan sebenarnya, sehingga hanya mengandalkan
informasi dari kerabat, yang mana informasi-informasi tersebut terkadang tidak
semuanya andal dan relevan dengan kebutuhan mereka.
Secara
umum, berdasarkan data perkembangan migran pada tahun 1980 dan 1995, pada tahun
2009 silam, Biro Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan bahwa dalam skala
Indonesia secara keseluruhan, tingkat urbanisasi akan mencapai 68% pada tahun
2025. Sedangkan untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali,
tingkat urbanisasinya diproyeksikan sudah lebih tinggi dari Indonesia secara
total. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada tahun 2025
diproyeksikan di atas 80 persen, yaitu di Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan
Banten. Sementara khusus untuk DKI Jakarta, tingkat urbanisasinya diproyeksikan
telah mencapai 100%. Proyeksi tersebut tidaklah mengherankan, karena untuk DKI
Jakarta saja, berkaitan dengan migrasi dari daerah perdesaan ke daerah
perkotaan, walaupun jumlahnya berfluktuasi tiap tahunnya, lonjakan arus
urbanisasi rata-rata per tahun mencapai 200.000-250.000 jiwa.
Kondisi
ini tentunya mengakibatkan populasi masyarakat yang hidup di perkotaan akan
semakin meningkat dan sebaliknya persentasi masyarakat yang hidup di
pedesaan/pedalaman akan semakin menurun. Hal ini tentunya perlu diantisipasi
sedini mungkin agar tidak terus berlanjut, karena walaupun disatu sisi
urbanisasi telah terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan sebagian masyarakat
pedalaman, namun disisi lain, dalam kenyataannya sebagaimana peribahasa “Ingin
Hati Memeluk Gunung, Tapi Apa Daya Tangan Tak Sampai” dan “Tak Ada Batang,
Akarpun Jadi” menjadi sesuatu yang tak dapat dielakkan oleh sebagian besar para
migran, sehingga yang terjadi adalah bukannya mendapatkan penghidupan layak,
tetapi hanya menimbulkan masalah baru, yaitu terbentuknya daerah slum/slums,
yang mayoritas dihuni oleh para migran yang tidak beruntung tersebut.
Daerah slum/slums itu
sendiri secara garis besar merupakan daerah yang kumuh atau tidak beraturan
yang terdapat di perkotaan, terutama di daerah pinggiran kota, dengan ciri-ciri
antara lain : banyak dihuni oleh pengangguran, tingkat kejahatan/kriminalitas
tinggi, demoralisasi tinggi, emosi warga tidak stabil, masyarakatnya mayoritas
miskin dan berpenghasilan rendah, daya beli rendah, wilayahnya kotor, jorok,
tidak sehat dan tidak beraturan, fasilitas publik sangat tidak memadai,
kebanyakan bekerja sebagai pekerja kasar dan serabutan serta bangunan rumah
kebanyakan gubuk dan rumah semi permanen, sehingga jika kondisinya demikian,
hampir tidak ada perbedaan kondisi yang dialami oleh masyarakat pedalaman dan
masyarakat pinggiran kota, yaitu pada umumnya mempunyai tingkat pendidikan,
pengetahuan, dan keterampilan relatif rendah, yang mana berdampak pada
kurangnya daya saing dan lambannya pertumbuhan ekonomi pada daerah-daerah
tersebut.
Berdasarkan
fenomena ini, menjadi suatu perkara yang sulit untuk membebebaskan daerah
pedalaman dan pinggiran kota dari ketertinggalan. Karena selain realitasnya
sudah demikian, mungkin juga dikarenakan beberapa pihak telah “sengaja”
melakukan pembiaran atau “merekayasa” kondisi ini tetap seperti itu, berharap
mengambil keuntungan pribadi atas ketertinggalan tersebut, atau mungkinkah ini
merupakan bukti kegagalan pemerintah dan otonomi daerah di Indonesia selama
ini?
Sumber:
https://andichairilfurqan.wordpress.com/tag/daerah-pedalaman/
0 komentar:
Posting Komentar